Ibu-Ibu Doyan Nulis

iidn

Selasa, 14 Mei 2013

KALA MEREKA TIDUR




Jagoan-jagoan dan tuan putri kami sedang tertidur lelap. Memandang mereka di kala tidur, sering menimbulkan titik bening di cermin mata kami. Ada perih yang menoreh, ada sesal yang menjalar. Ketika kami sadari, bahwa kami belum bisa menjadi tumpuan kasih dan muara cinta bagi mereka, sepenuhnya.
Kami akui, pundak kami masih jarang sejajar dengan tingginya saat kami menegurnya. Padahal ia harus jua dihormati. Masih sering memarahinya di depan orang lain, padahal ia juga ingin dihargai. Tak jarang sampai menghakimi kesalahannya, padahal mungkin itu dilakukannya karena ia belum mengerti. Sering kesal  saat meladeninya, padahal ia belum bisa lakukan semuanya sendiri. Lebih banyak melihat hasil daripada proses yang sedang ia pelajari.
Dan masih banyak hal lagi, yang membuat kami jadi malu sendiri.  Belum bisa menjadi umi dan ibu yang pantas diteladani. Masih ringkih mengajaknya susuri jalan Ilahi. Masih rapuh mengajaknya telusuri keelokan negeri para Nabi.
Saat mentari pagi belum bersinar, mereka lebih dulu bersinar di langit hati kami. Membagi senyum cerianya di pagi kami. Menghapus mendung di wajah sendu kami. Menorehkan lengkung pelangi di bibir kami. Mengecupkan rona mawar di kedua pipi. Menebar hangat di bekunya qalbu kami.
Dan itu dipancarkannya dengan ikhlas, jujur, tanpa paksaan, tak terbebani oleh pikiran: “Apa gerangan yang membebani umi,dan abi hari ini?”. Sekalipun ada sembab di mata umi mereka tak perlu tahu apa yang terjadi. Senyuman, sapaan, rangkulan, pelukan mereka di pagi hari, mewarnai semangat kami meraih mimpi. Satu hal yang perlu mereka tahu: bahwa kami semua ada, untuk berbagi dan dibagi.
Anak-anakku, sayang, marilah kemari…

CICAK DI DINDING

Anakku lagi tidur nyenyak.
Tak terasa waktu kian beranjak.
Setiap detik tak henti berdetak.
Sejenak, dua jenak, Tik tak tik tak tik tak…
Saat ia masih merangkak, semuanya ingin diacak-acak.
Buku-buku dikeluarkannya dari rak, satu per satu disusunnya berarak-arak.
Kini ketika ia makin mantap bergerak, langkahnya menghentak-hentak.
Menjadi sangat antusias jika mendengar suara cicak: ck ck ck ck ck ck…
Ap…ap! Begitu serunya sambil menandak-nandak.
Perut gendutnya jadi terlihat makin bengkak.
Memang bajunya sudah banyak yang sempit sesak.
Dan dalam sekejap, ia menyanyikan lagu cicak:
Cikcak cikcak dingdingding (cicak cicak di dinding)
Iam iam ayap (diam-diam merayap)
Atang ekol amuk (datang seekor nyamuk)
Ap ap, alu engkap (hap hap, lalu tangkap)

*) begitulah dinyanyikannya saat ujarannya masih cadel. Anakku senang sekali melihat cicak, dan kupikir setiap anak senang melihat cicak yang merayap di dinding. Biasanya cicak dijadikan sebagai media untuk pengalihan perhatian jika anak rewel dan menginginkan sesuatu. Dan itu pula yang terjadi padaku. Lantas aku berpikir, cicak bisa jadi ajang pengenalan tauhid pada anak. Maka, jika ada cicak yang sedang kejar-kejaran, aku pun berujar:

Subhanallah…  lihat, nak! Ada cicak di dinding dan di atap.
Cicak makhluk merayap, menangkap makhluk bersayap.
Hap-hap, nyamuknya disantap, sedap.